Succesfool

  2 minute read

Successfool. Istilah yang pertama kali saya baca dari situs theminimalists.com. Istilah ini merepresentasikan kesuksesan fana, di mana sukses adalah mewujudkan impian kebanyakan orang, mencapai situasi yang didambakan banyak orang, mencapai status sosial tertentu.

Sejak kecil, yang saya tahu sukses adalah kepemilikan material yang mewah; punya rumah besar, mobil mewah, tanah luas, perhiasan banyak, dan lain-lain. Sukses adalah bergaji besar, punya jabatan bergengsi, dan punya gelar setinggi-tingginya. Sukses adalah sudah menikah, punya anak minimal dua, harus ada laki-laki dan perempuan. Sukses adalah liburan ke berbagai tempat eksotis. Setidaknya itu tekanan sosial yang saya pribadi rasakan dari keluarga, orangtua, dan sanak saudara. Topik pertanyaan saat silaturahmi tahunan di hari yang fitri tidak jauh dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Gambar random, biar ga tulisan semua.

Apakah hidup tanpa hal-hal di atas artinya tidak sukses? Saya baru tahu setelah cukup dewasa, kalau jawaban dari pertanyaan tersebut adalah: belum tentu. Ternyata sukses bagi saya itu ketika saya bisa berkontribusi kepada sesama. Semakin besar kontribusi saya, saya merasa semakin sukses. Hal lain yang saya rasakan, ketika saya fokus untuk memberikan apa yang terbaik sebagai kontribusi, materi akan mengikuti.

Menurut saya kecukupan finansial itu penting sekali, karena dengan kecukupan finansial kita bisa memilih. Misalnya, kita bisa memilih apakah kita mau mendaftarkan anak untuk les Bahasa Inggris atau tidak, atau memilih sekolah yang cukup bagus. Bila secara finansial kita kurang, tentu kita tidak punya pilihan tersebut. Namun, bukan berarti finansial dan materi perlu jadi tujuan utama, jadi fokus kita, jadi definisi utama kesuksesan.

Dengan menjadikan materi sebagai definisi utama kesuksesan, kita membangun masyarakat yang berorientasi materi. Silaturahmi jadi ajang pamer. Hari-hari dipenuhi dengan pikiran bagaimana caranya mendapatkan uang untuk memperbarui apa yang sudah dimiliki sekarang. Diskusi dipenuhi dengan apa perbaharuan yang harus kita miliki berikutnya; rumah baru, mobil baru, smartphone canggih, dan seterusnya. Sungguh sayang bila waktu hidup kita yang singkat dihabiskan untuk mengejar materi yang tidak ada habisnya. Alangkah indahnya apabila kita bangun pagi dengan semangat yang berbeda, semangat berkontribusi kepada sesama.

Dulu, saya kira dengan mendapatkan materi saya akan bahagia. Namun ternyata saya salah. Setelah mendapatkan apa yang saya inginkan, saya sering merasa kosong. Kok, perasaan yang bahagia yang saya cari, tidak kunjung saya dapatkan. Malah seringkali apa yang saya beli malah membuat saya tidak bahagia. Kadang saya merasa membuat-buat hidup saya untuk terlihat lebih sukses dari yang sebenarnya, sampai-sampai saya benci dengan diri saya sendiri. Tidak ada salahnya punya barang-barang yang memberikan nilai ke dalam hidup kita. Yang kurang tepat adalah menjadikan barang-barang tersebut sebagai pusat dari kehidupan kita. Membeli yang kita inginkan, lebih dari apa yang kita butuhkan. Sejauh yang saya alami, kebahagiaan hakiki datang bukan dari materi, tapi dari rasa syukur, dari orang-orang di sekitar kita.

Kebahagiaan hqq.

Saya mencoba berpikir, dari mana sebenarnya tekanan sosial ini datang. Apakah karena kita terus diserang gambaran kesuksesan yang ditampilkan oleh acara di televisi melalui sinetron dan kehidupan sehari-hari artis, atau di jaman sekarang diwakili oleh publikasi akun selebriti di media sosial seperti selebgram, yang menampilkan kehidupannya yang serba indah. Entahlah, sampai sekarang saya belum punya jawabannya. Mungkin keinginan punya materi yang lebih merupakan intuisi kita untuk bertahan hidup, yang sayangnya teramplifikasi oleh ekspektasi sosial yang berlebihan melalui tekanan sosial dalam berbagai media seperti media sosial.

Apapun alasannya, sudah waktunya kita, terutama generasi milenial sebagai generasi di usia produktif, untuk berpikir: apa arti sukses bagi kita? Perlukah kita memperlihatkan kecukupan materi kita kepada orang lain? Adakah yang lebih penting dari itu? Apa yang memberi kita kebahagiaan yang hakiki?

Leave a comment